Toxic positivity adalah suatu kondisi saat pikiran atau sikap positif dipaksakan, baik oleh kamu sendiri maupun orang lain. Ini artinya, kamu atau orang lain berusaha untuk menolak perasaan yang sering dianggap negatif seperti rasa takut, marah, ataupun sedih. Lalu, alih-alih menerima perasaan tersebut, kamu dipaksa untuk selalu positif menghadapi berbagai situasi. Berikut adalah beberapa contoh toxic positivity yang mungkin terjadi di lingkungan kerja:
Mungkin kamu berpikir bahwa bekerja terus-menerus, sering lembur, dan menghabiskan sebagian waktu kamu untuk bekerja adalah hal yang baik. Bahkan, atasan kamu mungkin merasa bahwa itu termasuk hal yang positif.
Namun, tahukah kamu bahwa bekerja secara berlebihan tidak baik untuk kesehatan mental sekaligus fisik? Ya, work-life balance justru penting untuk membuat kamu selalu produktif dan senang saat bekerja. Jika kamu memforsir diri untuk terus bekerja tanpa mengenal waktu, lama-lama kamu merasa stres atau tubuhmu kelelahan hingga jatuh sakit.
Oleh karena itu, jika kamu masih sering lembur dan bekerja tak mengenal waktu, mungkin kini waktu yang tepat untuk lebih memikirkan kesehatan dengan memanfaatkan waktu di luar jam kantor dengan melakukan hal yang kamu suka.
Pada dasarnya, saat kamu sedang menghadapi kegagalan, tentu kamu merasa sedih dan marah, bahkan kehilangan semangat. Saat itu, tak jarang tanpa disadari, kamu berusaha menolak perasaan sedih dan marah dengan melihat atau mencari sisi positif dari kegagalan tersebut.
Sebenarnya, hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, menolak perasaan sedih dan marah akibat suatu kegagalan hanya akan membuat kamu “lari” dari mencari solusi yang kamu butuhkan. Saat gagal, perasaan sedih dan marah itu memang menimbulkan rasa tak nyaman. Akan tetapi, dari perasaan tersebut, kamu akan berusaha lebih keras untuk mencari solusi agar tidak mengulang kegagalan yang sama dan tidak merasakan perasaan tak nyaman itu lagi di kemudian hari. Sayangnya, berusaha melihat sisi positif dari kegagalan itu seringnya menghambat kamu untuk mencari solusi itu.
Saat ada teman yang sedang khawatir atau panik karena suatu pekerjaan, kamu sering kali menyarankannya untuk tidak merasa khawatir dan selalu berpikiran positif. Bahkan, kamu mungkin saja mengatakan bahwa, “Semua akan baik-baik saja.”
Padahal, kamu sendiri tidak tahu apakah semuanya akan benar baik-baik saja. Justru, sebenarnya teman ini mungkin membutuhkan rasa panik dan khawatir yang dimilikinya. Pasalnya, hal itu mungkin akan mendorongnya untuk mencari jawaban atau mempersiapkan diri menghadapi hal yang membuatnya khawatir dan panik tersebut.
Sementara itu, memintanya untuk berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, bisa jadi membuat teman tersebut tidak berusaha mempersiapkan diri atau mencari solusi agar ia keluar dari rasa khawatir itu. Pada akhirnya, rasa khawatir dan panik teman itu bisa jadi terwujud karena toxic positivity yang kamu sampaikan padanya.
Perilaku yes man seperti ini tidak selalu baik, khususnya untuk dirimu sendiri. Bayangkan jika pekerjaan sudah menumpuk dan kamu masih kewalahan untuk menyelesaikannya, tapi kamu terus mengiyakan semua permintaan rekan kerja. Padahal, mungkin hanya kamu yang tahu beban yang sedang kamu hadapi dan kapasitas yang kamu miliki untuk menyelesaikannya saat itu. Dengan terus berkata “iya” tanpa berani menolak, kamu sebenarnya sedang merepotkan dirimu sendiri. Di sisi lain, bisa jadi justru pekerjaan itu tidak kamu kerjakan dengan maksimal sehingga hasilnya pun mengecewakan.
Memiliki pikiran yang positif memang bagus, tapi jangan pernah menolak perasaan negatif, karena semua perasaan yang kamu miliki dan rasakan sebenarnya sama-sama berkontribusi agar kamu terus berkembang menjadi manusia yang lebih baik lagi.